16 Desember 2008

Kajian Dasar Sosial-Ekonomi-Budaya di Kawasan Penyangga Pegunungan Muller dan Schwaner

DESA RANTAU MALAM, KABUPATEN SINTANG

Penyangga Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya
27 Nopember – 1 Desember 2 0 0 8


Dalam upaya mempersiapkan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan di kawasan pegunungan Muller dan Schwaner yang melintasi Propinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Para pihak yang terkait, seperti Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Pemerintah Daerah Kabupaten, WWF Indonesia dan beberapa LSM yang peduli pada upaya konservasi dan pemberdayaan masyarakat di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimatan Tengah ini sepakat untuk mendorong keterlibatan masyarakat baik yang berada di sekitar kawasan maupun yang berada di dalam kawasan.

Sebagai tindak lanjut dari komitmen bersama tersebut, maka pada tangal 22 - 26 Oktober 2008 di Palangkaraya telah dilaksanakan kegiatan Lokalatih Participatory Rural Appraisal & Teknik Mediasi. Dari kegiatan ini disepakati untuk melakukan kegiatan Kajian Sosial-Ekonomi-Budaya, dimana hingga akhir tahun 2008 direncanakan akan dilaksanakan pada enam desa yang berada di sekitar dan di dalam kawasan, yakni dua desa di Kalimantan Barat (Rantau Malam dan Belaban-Ella), empat desa di Kalimantan Tengah (Batu Panahan, Sebaung, Tumbang Naan dan Tumbang Jojang).
Desa yang pertama kali melakukan kajian adalah Desa Rantau Malam, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, propinsi Kalimantan Barat. Kegiatan kajian ini dilakukan sebagai suatu proses pembelajaran bersama tara warga masyarakat. Keberadaan fasilitator hanyalah sebagai mitra atau pendamping yang memfasilitasi mengumpulan informasi dan proses diskusi. Rangkaian kegiatan di desa ini dilakukan sejak tanggal 27 Nopember - 1 Desember 2008. Peserta yang terlibat sekitar 41 orang, terdiri dari 15 orang perempuan dan 26 orang laki-laki. Peserta yang hadir ini berasal dari berbagai komponen, mulai dari aparat Pemerintahan Desa, Pengurus Adat, pemuda, pengurus organisas keagamaan, tenaga pendidik, ibu rumah tangga, maupun masyarakat biasa.

Dari hasil pembelajaran selama lima hari, mulai terlihat gambaran terhadap kondisi desa, baik itu potensi, masalah maupun kebutuhan desa di masa yang akan datang. Hasil dari proses ini dapat dilihat pada file laporan yang disajikan dalam format pdf. Semoga saja apa yang sudah dimulai ini menjadi awal dalam proses pelibatan masyarakat secara aktif dalam melaksanakan berbagai kegiatan di kawasan Muller dan Schwaner dengan memperhatikan kebutuhan dan kearifan lokal masyarakat setempat.

Dari rencana tindak lanjut hasil kajian bersama masyarakat ini, ternyata ada beberapa kegiatan yang muncul sebagai solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat, namun kegiatan tersebut dapat diatasi sendiri oleh masyarakat setempat secara swadaya. Disamping itu ada juga kebutuhan kegiatan bersama para pihak lainnya, namun tidak semata kebutuhan yang berbentuk fisik. Kebutuhan riil muncul terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam setempat yang dapat menjamin kelesinambungan pemanfaatan yang lestari. Misalnya bagaimana para pihak dapat bekerja bersama masyarakat setempat dalam menyelamatkan kawasan hutan adat mereka dari rencana penebangan oleh perusahaan pemilik HPH yang masuk dalam RKT tahun 2009 ini. Karena jika kawasan hutan adat ini tidak bisa diselamatkan, maka kegiatan masyarakat terkait dengan pemanfaatan hasil hutan akan masuk ke dalam wilayah Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.

Untuk itu, mari bekerjasama untuk saling membantu ...


Oleh Imanul Huda


Berbuat bersama untuk kemajuan bersama .....

18 September 2008

Restorasi Seni Budaya Menenun Leluhur Dayak



CATATAN PENGALAMAN DALAM MEMBANGUN PROGRAM
“RESTORASI SENI BUDAYA MENENUN LELUHUR DAYAK "
DI SINTANG, KALIMANTAN BARAT[1]

Oleh : Imanul Huda[2]



PENDAHULUAN

Keberadaan tenun ikat Dayak, khususnya yang diproduksi oleh para penenun yang berasal dari Sintang saat ini tidak saja dikenal oleh masyarakat di Indonesia, namun juga sudah dikenal oleh masyarakat dari berbagai negara, terutama di kalangan para kolektor dan pencinta tenun ikat. Kondisi seperti ini sulit dibayangkang ketika kita berada dalam kondisi awal sebelum program ini dibangun dan dikembangkan. Kita mungkin hanya bisa mengetahui lebih banyak mengenai informasi tenun ikat ini justru dari beberapa kolektor maupun museun di Eropa seperti Museum Dresden (Jerman), Museum Nasional London (Inggris), Museum Tropis di Amsterdam (Belanda) dan Museum Vatican di Roma (Itali).


Tenun ikat, bagi masyarakat Dayak di Sintang merupakan suatu hasil karya seni budaya yang tidak terpisahkan dengan kehidupan budaya masyarakat sehari-hari. Sebagai produk seni budaya, produk tenun ikat ini tidak dapat diproduksi oleh sembarang orang dan sembarang waktu. Karena hal ini sangat berhubungan dengan keyakinan dan tradisi masyarakat terhadap beberapa aturan tidak tertulis (tradisi oral) dari nenek moyang mereka yang harus dipahami seseorang sebelum melakukan kegiatan menenun. Untuk itu dalam kurun waktu tertentu, proses regenarasi dari para penenun sangat rendah, tidak banyak para wanita muda yang ingin belajar lebih jauh mengenai tenun ikat ini, bahkan yang terjadi adalah adanya upaya untuk menjauhkan dan memusnahkan tenun ikat tersebut. Sehingga pada waktu itu Kita sangat sulit untuk menjumpai tenun ikat ini dipasaran, tenun ikat hanya bisa diperoleh pada beberapa kampung yang masih ada para penenun tua.

Sebagai salah satu unsur kekayaan budaya, Tenun ikat Dayak khususnya yang ada di kabupaten Sintang, yaitu Dayak Ketungau dan Dayak Desa, selama ini hanya tersimpan begitu saja dalam lumbung-lumbung kebudayaan mereka. Bahkan berbagai kisah yang berupa tradisi lisan dan beberapa bentuk ritual yang menyertai kehidupan serta eksistensi tenun ikat ini telah banyak yang hilang, punah terkubur bersama rumah betang, sejarah dan waktu. Terutama setelah generasi pasca rumah betang. Di kabupaten Sintang (Dayak ketugau dan Dayak desa) sendiri, tenun ikat Dayak semakin tak populer di kalangan gadis-gadis Dayak, bahkan sedikit sekali wanita-wanita Dayak pasca rumah betang yang mau menekuni tenun ikat ini. Beberapa karya tenun ikat masih dipelihara dan disimpan oleh para keturunan-keturunan mereka yang kebanyakan tak lagi mengerti makna maupun cerita yang tersirat dalam berbagai motif di dalam tenun ikat tersebut (Mering, 2000).

Menyadari sepenuhnya akan keberadaan tenun ikat sebagai sebuah hasil kreativitas seni budaya yang berharga dari ancaman kepunahannya, maka Kami memandang perlu untuk membangun suatu program yang dinamakan "Program Restorasi Seni Budaya Menenun Leluhur Dayak" melalui penguatan keahlian penenun dan pengembangan manajemen serta kapasitas kelembagaan atau biasa juga disebut dengan "Program Restorasi Tenun Ikat Dayak". Program ini diinisiasi secara bersama oleh tiga lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non pemerintah (PRC Foundation/PRCF Indonesia – KOBUS – YSDK) yang didukung oleh Ford Foundation pada tahun 1999.

Dari hasil perjalanan dalam pengembangan program tersebut, maka dalam rangka Kongres Budaya Kalimantan Barat pihak Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Kalimantan Barat meminta Kami untuk menuliskan beberapa catatan pengalaman untuk dapat dibagi kepada para pihak lainnya mengenai pelajaran terbaik yang dapat diambil. Untuk itulah beberapa catatan pengalaman ini Kami tuangkan dalam makalah ini.

TENUN IKAT DAYAK DAN KEBUDAYAAN
Sebelum kita melihat bagaimanakah hubungan tenun ikat Dayak dan kebudayaan lebih lanjut, ada baiknya kita mengetahui apa itu kebudayaan. Menurut Rut Benedict, kebudayaan merupakan pola-pola pemikiran serta tindakan tertentu yang terungkap dalam aktivitas, sehingga pada hakikatnya kebudayaan itu sesuai dengan apa yang dikatakan Ashley Montagu, yaitu a way of life. Cara hidup tertentu, yang memancarkan identitas tertentu pula pada suatu bangsa. Dapat juga di kemukakan, kebudayaan adalah keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia yang di salurkan dari generasi-kegenerasi untuk kehidupan manusiawi yang lebih baik (Soerjanto Poespowordoyo, 1989:218 – 219). Dilihat dari dimensi wujud menurut para ahli kebudayaan terbentuk atas tiga wujud yakni (1) wujud sebagai suatu kompleks gagasan, atau ide, (2) wujud sebagai suatu kompleks aktivitas, dan yang ke-(3) wujud benda. Yang pertama disebut sistem budaya, yang kedua disebut sistem sosial, sedangkan yang ketiga adalah kebudayaan fisik (Mering, 2000).


Dari pendapat diatas maka tenun ikat Dayak dapatlah kita lihat sebagai salah satu wujud kebudayaan sebagai artifacts (sekumpulan benda) yang juga merupakan salah satu cara dan sekaligus media pengungkapan dari suatu himpunan gagasan atau ide yang merupakan dialektika masa lampau dan masa depan yang bersentetis dalam masa sekarang, seperti yang disebut diatas (Mering, 2000). Tenun ikat merupakan bentuk dari kebudayaan fisik. Menurut Gillow (1999) yang dikutip Huda (2006) tenun ikat adalah sebuah teknik menenun dimana pola kain dibuat dengan mengikat benang dengan benang penahan celup. Benang yang telah diikat ini dicelup berkali kali untuk memperoleh pola yang diinginkan. Benang yang telah berpola ini lalu ditenun. Teknik ikat disebut sebut sebagai teknik celup tertua di dunia.

Menurut Mering (2000), ada perbedaan antara tenun ikat Dayak yang asli dengan jenis tenun ikat yang sekarang banyak diproduksi dengan menggunakan benang (bahan jadi) dan zat pewarna seperti naftol, sehingga tentu saja beberapa proses yang mengandung nilai ritual bagi sebuah tenun ikat tidak lagi dilaksanakan. Seperti misalnya mencampur beberapa zat pewarna tertentu dengan hati binatang dan lemak-lemak hewan tertentu yang prosesnya tidak boleh disaksikan oleh orang lain (ngaos). Sehinga ada perbedaan antara kain yang disebut besuoh (artinya kain masak, yaitu yang prosesnya dilakukan secara lengkap dan telah memenuhi prasyarat adat atau tata ketetentuan tertentu) dengan kain mata’ (Kain yang tanpa melewati persyaratan-persyaratan adat, misalnya tidak menggunakan hati-hati atau lemak hewan tertentu, tanpa menggunakan kapur sirih dan sebagainya).


PERKEMBANGAN PROGRAM

Restorasi Tenun Ikat Dayak Bukan Semata Pengembangan Ekonomi

Secara umum program ini dibangun dengan tujuan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai seni budaya tenun ikat Dayak, dengan mempertinggi nilai seni yang ada, kemampuan manajemen dan kelembagaan yang dibutuhkan untuk mencapai kemandirian.

Sedangkan secara khusus pembangunan program ini bertujuan untuk memperbaiki seni tenun ikat Dayak melalui penguatan keahlian menenun, membagi pengetahuan pada budaya dan simbol-simbol yang telah hampir tenggelam serta dengan membentuk suatu lembaga yang dapat menajdi dasar tumpuan hidup kegaitan tenun saat ini.

Kain-kain yang dihasilkan para penenun, pada masa dahulu biasa digunakan untuk acara-acara yang terkait dengan perayaan adat maupun acara ritual. Sehingga bagi kaum perempuan yang mememiliki keterampilan menenun dan mampu menghasilkan kain tenun yang baik menjadi sumber perhatian dan meningkatkan citranya. Pada saat itu banyak perempuan yang berusaha untuk bisa menenun dan menghasilkan kain yang baik.

Sejalan dengan perkembangan zaman, telah mendorong terjadinya perubahan pemikiran dan kebiasaan masyarakat Dayak setempat di Sintang. Begitu juga dengan kebiasaan menenun, secara perlahan juga mulai ditinggalkan. Berkurangnya kegiatan-kegiatan tradisi, memperkecil ruang bagi masyarakat mempromosikan hasil tenunan mereka. Keahlian menenun hanya dikuasai oleh beberapa orang perempuan setempat yang berusia lanjut. Jika salah satu warisan seni budaya ini hilang, maka ada banyak hal yang terkait dengan kegiatan menenun juga hilang. Diantaranya adalah pengetahuan dan keahlian menenun, posisi tawar kaum perempuan setempat, pengetahuan tentang pemanfaan NTFP, dan ruang untuk membangun kegiatan bersama bagi kaum perempuan setempat.

Setiap suku bangsa memiliki budaya, karena itu budaya juga merupakan bagian dari identitas masyarakat setempat. Untuk itu pula Program Restorasi Tenun Ikat Dayak tidak hanya mendorong pengembangan ekonomi semata dalam hal ini posisi tawar masyarakat untuk menghadapi pasar melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (NTFP). Tetapi program ini juga berupaya menyelamatkan warisan budaya, memperkuat identitas, dan lingkungan setempat (melalui pelestarian tanaman pewarna).

Saat ini, para penenun ikat Dayak di Sintang telah memiliki lembaga ekonomi yang berbadan hukum koperasi. Koperasi ini didirikan pada tahun 2001, dan bernama Koperasi Jasa Menenun Mandiri. Usaha yang dikelola meliputi (1) Usaha Produksi dan Pemasaran (meliputi produk kerajinan tangan, terdiri dari tenun ikat Dayak dan anyaman dari bambu dan rotan), (2) Usaha Simpan Pinjam (pengelolaan modal bersama untuk pengembangan usaha anggota).

Pada masa sebelum dimulainya program ini, para penenun memproduksi dan memasarkan produknya secara sendiri-sendiri sehingga harga jual produk sangat susah dikontrol. Begitu juga pasokan bahan baku untuk menenun. Disamping itu kualitas produk hanya terukur dari satu kampung saja, serta jaringan kerjasama antara penenun juga tidak begitu terasa sehingga memunculkan persaingan yang tidak begitu sehat.

Dalam perkembangannya saat ini, para penenun sudah memiliki wadah yang dapat mengorganisir kegiatan mereka, yakni Koperasi Jasa Menenun Mandiri. Koperasi ini dibentuk berdasarkan kebutuhan dan kesepakatan bersama para penenun, dimana pada tahap awal hanya berbentuk Kelompok Usaha Bersama. Lembaga ini sangat berperan dalam membantu para penenun untuk mencarikan solusi bagi [1] ketersediaan bahan baku maupun sarana dan prasarana untuk menenun seperti benang katun, dan bahan pewarna, [2] promosi dan [3] menampung dan memasarkan produk. Serta [4] sebagai media koordinasi antar penenun dari berbagai daerah untuk dapat melakukan proses belajar bersama atau penguatan kapasitas para penenun.

Dari laporan tahunan yang diterbitkan bulan Februari 2008, jumlah masyarakat yang telah bergabung menjadi anggota hingga tahun Desember 2007 ada 923 orang. Jumlah ini cendrung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Huda, 2008). Pada tahun 2002 ada 212 anggota, tahun 2003 ada 297 anggota, tahun 2004 ada 331 anggota, tahun 2005 ada 427 anggota, tahun 2006 ada 654 anggota dan tahun 2007 ada 923 anggota.

Anggota koperasi ini tersebar di 28 kampung atau 16 desa yang tersebar di Kecamatan Kelam Permai, Dedai, Sepauk dan Sintang dimana jumlah anggota terendah dalam satu kampong terdiri dari 3 orang dan tertinggi mencapai 153 orang.

Begitu juga asset secara keseluruhan cenderung mengalami kenaikan, pada dua tahun terakhir, yakni tahun 2005 mencapai 443 juta, tahun 2006 mencapai 960 juta dan akhir tahun 2007 mencapai 1,9 milyar rupiah


NILAI-NILAI YANG DIANUT DALAM PROSES IMPLEMENTASI PROGRAM

Proses yang dilakuan dalam memobilisasi sumber daya untuk implementasi progam adalah dengan memperhatikan beberapa nilai yang dianut dibawah ini :

1. Menghargai kearifan lokal

Tenun ikat merupakan hasil karya dari seni budaya masyarakat lokal, sejalan dengan upaya untuk menjaga, melestarikan dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang hampir punah maka para pihak harus menghargai tradisi setempat dalam kaitannya dengan menenun. Dalam proses pembuatan kain tenun, mulai dari tahapan dan beberapa aturan tidak tertulis baik yang harus dilakukan maupun yang menjadi pantangan masih diperhatikan oleh para penenun sebagaimana yang telah dilakukan oleh leluhur mereka. Beberapa alat yang digunakan untuk memenun juga masih menggunakan peralatan yang sama sebagaimana pendahulu mereka, yaitu alat tenun “gedokan” yang mana bahan-bahannya berasal dari kayu dan bambu.

Beberapa aturan tidak tertulis yang masih diperhatikan oleh para penenun diantaranya adalah :
Kegiatan menenun harus dihentikan jika ada warga disekitar mereka meninggal dunia hingga proses pengurusan si mayat telah selesai.
Pada saat musim kerja gotong royong dalam kegiatan berladang, maka penenun juga harus terlibat didalam kegiatan tersebut.
Sebelum proses pewarnaan, pembuatan motif dan menenun dilakukan, maka benang sebaiknya diproses “ngaos / ngar” (mordanting). Proses ini dimaksudkan untuk memberikan kandungan protein pada benang sehingga benang menjadi kuat dan dapat menyerap warna dengan baik.
Para penenun muda atau pemula hanya dibolehkan membuat motif-motif sederhana atau motif dasar.
Proses menenun sebaiknya tidak dilakukan pada malam hari (tingkat kelembaban udara cukup tinggi).

2. Bersahabat dengan alam

Dalam proses pembuatan kain tenun ikat, bahan pewarna utama yang digunakan oleh para penenun jaman dahulu adalah bahan-bahan pewarna yang berasal dari bagian tumbuhan yang berasal disekitar tempat tinggal mereka. Bahan-bahan tersebut bisa berasal dari daun, kulit pohon, biji dan akar. Diantara tumbuhan dan bagian-bagian yang dimanfaatkannya adalah sebagai berikut :
· Engkrabang/engkrabai (daun) untuk warna merah dan coklat
· Engkudu/mengkudu (akar / kulit akar) untuk warna merah dan coklat
· Lengkar/sebangki (kulit batang) untuk warna kuning, dan merah
· Tarum jawa/rengat (daun) untuk warna biru dan hitam
· Tarum padi/rengat (daun) untuk warna biru dan hitam

Penggunaan bahan pewarna alam ini memberikan keamanan kesehatan bagi penenun yang melakukan proses pewarnaannya. Disamping itu kain tenun yang diproses dengan menggunakan pewarna alam, lebih diminati oleh para pembeli dari luar negeri sehingga nilai jual kain akan lebih tinggi dibanding dengan pewarna sintetis.

3. Partisipatif,

Para penenun didorong untuk terlibat aktif dalam setiap kegiatan, sehingga keberadaan mereka dapat terlibat dalam pengambilan keputusan bersama. Keterlibatan para penenun ini, tidak saja hanya sebagai peserta. Para penenun juga dapat terlibat dalam membangun inisiatif bersama dalam mencari solusi bagi masalah yang mereka hadapi. Begitu pula merencanakan dan mengevaluasi kegiatan hasil kerja mereka secara periodik.

Untuk itu para pengelola Koperasi Jasa Menenun Mandiri berasal dari kalangan penenun maupun tenaga professional.

4. Pembelajaran bersama (dari penenun untuk penenun)

Keahlian dan keterampilan menenun ikat sudah dimiliki oleh masyarakat sebelum kita datang ke kampung mereka, mereka sudah mendapatkannya dari leluhur kemudian diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya. Untuk itu kurang tepat rasanya jika Kita yang justru mendikte mereka untuk membuat sesuatu yang sudah mereka kuasai. Sesuatu yang diharapkan dalam proses disini adalah bagaimana diantara mereka dapat melakukan proses saling belajar, melalui tukar pengalaman dan pengetahuan mengenai tenun ikat dari apa yang mereka ketahui. Untuk itu dalam beberapa proses pelatihan teknis, sebahagian besar nara sumber berasal dari para penenun ahli yang dilibatkan secara bergiliran, mereka berasal dari beberapa kampong yang berbeda. Pendekatan lainnya, adalah dengan mendatangkan peserta dari berbagai kampug ke lokasi kegiatan dimana nara sumber berasal.

5. Berperspektif jender

Pengertian berperspektif jender disini tidak saja terbatas kepada jumlah peserta yang terlibat dalam program ini di dominasi oleh kaum perempuan, akan tetapi bagaimana hak-hak mereka sebagai kaum perempuan dapat dihargai dan ditempatkan pada posisinya. Mereka memiliki kesempatan untuk mendapatkan hak dan menyampaikan pendapatnya, tidak ada perlakuan pilih kasih dengan kaum pria. Namun pada kenyataannya sebahagian peserta dari kegiatan dalam program ini adalah kaum perempuan.

6. Keberlanjutan proses

Aspek keberlanjutan merupakan indikator utama dalam membangun proses dari suatu program. Siapa yang akan meneruskan program ini jika sudah selesai, bagaimana proses ini akan dilanjutkan jika sudah selesai. Kedua pertanyaan mendasar ini harus menjadi pegangan bagi pengelola program dalam membangun dan mendesain program.

Dalam kaitannya dengan program ini, maka apabila kita sudah menemukan jawaban atas pertanyaan mendasar tersebut maka Kita dapat hampir memastikan bahwa program yang kita bangun ini memiliki keberlanjutan yang jelas. Untuk itu ada beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam mendukung keberlanjutan proses, yakni sebagai berikut :

Ä Pengorganisasian penenun
Penenun yang terorganisir akan dapat memfasilitasi kebutuhan secara mandiri dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi bersama, seperti ketersediaan bahan baku, modal usaha, promosi dan pemasaran.

Ä Keahlian dan ketrampilan menenun
Proses regenerasi para penenun harus terjaga, sehingga seni budaya leluhur mereka ini dapat terus diwariskan.

Ä Pengembangan program secara kolaboratif
Merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan dan visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan mereka.



Daftar Pustaka :


Fisher J., 1979, Threads of Tradition, Lowie Museum of Anthropology, University Art Museum Berkles University of California, California.

Gustami, 1990, Filosofi Kain Tradisional Indonesia, Seminar kria ISI Yogyakarta.

Mering A., 2000, Tenun Ikat Dayak: Ekspresi Kosmologi Manusia Dayak, http://wisnupamungkas.wordpress.com/, Pontianak.

Independent Research & Advisory, 2005, Upaya peningkatan pemasaran dan penghasilan penenun tradisional di Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Huda, I., 2006, Kain Tenun Ikat Dayak – Pemberdayaan Ekonomi dan Pelestarian Budaya Masyarakat Sintang di Kalimantan Barat, http://www.alambina.net/

Huda, I., 2008, Collaborative Management: LIngkung Cultural Weaving Arts with ConservationTthrough Sustainabale use of Non Timber Forest Products (NTFP), Case Study from Dayak Ikat Weaving Restoration Program in West Kalimantan – Indonesia, Co-Management Training, Regional Network for Indigenous Poeples (RNIP) – Karen Environmental and Social Action Network (KESAN), Juni 3-7, 2008, at Chiang Rai, Thailand. http://www.prcfunion.org/indonesia

Callmerona, 2008, Analisis Feminisme terhadap Kearifan Lokal Perempuan Dayak sebagai Penenun Ikat, http://callmerona.wordpress.com/

Perajin tenun ikat di Kabupaten Sintang, 2008, Pewarnaan Tenun Ikat Dengan Menggunakan Bahan Pewarna Alami, Diterbitkan oleh Yayasan PRCF Indonesia, Pontianak

[1] Disampaikan pada pelaksanaan Kongres Budaya Kalimantan Barat, di Hotel Orchid, Pontianak, pada tanggal 25-27 Agustus 2008, diselenggarakan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Propinsi Kalimantan Barat.


2 Direktur Eksekutif People Resources, and Conservation Foundation - Indonesia (PRCF-Indonesia), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang konservasi sumberdaya alam serta pemberdayaan masyarakat.